Dinamika Perilaku Remaja
A. REMAJA DAN TUGAS PERKEMBANGAN
Masa remaja merupakan masa “belajar” untuk tumbuh dan berkembang
dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas-tugas, yang
dalam istilah psikologi dikenal dengan istilah tugas perkembangan. Sama halnya
dengan di sekolah, tugas perkembangan ini juga harus diselesaikan oleh seorang
remaja dengan baik dan tepat waktu untuk dapat naik ke kelas berikutnya.
Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap
suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu
sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat.
Setiap fase perkembangan, yaitu sejak seorang bayi lahir, tumbuh
menjadi dewasa sampai akhirnya mati, mempunyai tugas-tugas perkembangan yang
harus dipenuhi. Misalnya, balita berusia dua tahun diharapkan sudah dapat
berbicara dan berkomunikasi secara sederhana dengan orang-orang di
sekelilingnya. Hal yang sama juga berlaku bagi remaja. Tugas perkembangan yang
harus diselesaikan oleh remaja tidak sedikit.
Menurut Havighurst, tugas-tugas perkembangan seorang remaja
adalah sebagai berikut :
1.
Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya
secara lebih efektif. Walaupun kedengarannya sederhana dan mudah diucapkan,
menerima keadaan fisik diri sendiri sering kali menjadi masalah yang cukup
besar bagi remaja. Perasaan tidak puas itu kemudian membuat remaja selalu
dilanda perasaan minder, sehingga malas bergaul.
2.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya. Usaha untuk mencapai kemandirian emosional bisa membuat remaja
melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan orangtuanya. Dengan ciri
khas remaja yang penuh gejolak dan emosional, pertentangan pendapat ini sering
kali membuat remaja menjadi pemberontak di rumah. Apabila masalah ini tidak
terselesaikan, terutama apabila orangtua bersikap otoriter, remaja cenderung
untuk mencari jalan keluar di luar rumah, yaitu dengan cara bergabung dengan
teman-teman sebaya yang senasib.
3.
Mencapai suatu hubungan dan pergaulan yang lebih matang antara
lawan jenis yang sebaya. Sehingga, remaja akan mampu bergaul secara baik dengan
kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Kemampuan untuk mencapai
tugas perkembangan ini juga dipengaruhi oleh banyaknya interaksi yang dialami
seorang remaja dengan orang-orang dari kedua jenis kelamin.
4.
Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin. Peran
sosial yang dimaksud di sini adalah seperti yang diharapkan masyarakat, dan
bergeser sesuai dengan peralihan zaman.
5.
Berperilaku sosial yang bertanggung jawab. Idealnya, seseorang
tentu diharapkan untuk berpartisipasi demi kebaikan atau perbaikan di
lingkungan sosialnya, namun bila hal itu belum bisa dijalankan, minimal yang
harus dilakukan adalah tidak menjadi beban bagi masyarakat atau lingkungan
sosialnya. Karena itulah, remaja yang terlibat tawuran sampai menghancurkan
fasilitas umum tentu tidak dapat dianggap telah melampaui tugas perkembangan
yang satu ini dengan sukses.
6.
Mempersiapkan diri untuk memiliki karier atau pekerjaan yang
mempunyai konsekuensi ekonomi dan finansial. Setelah melepaskan diri dari
ketergantungan emosional dengan orangtua atau orang dewasa lain, tugas yang
menanti remaja adalah juga melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari
mereka.
7.
Mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga. Dengan
dilaluinya tugas perkembangan yang telah disebutkan tadi yaitu yang berkaitan
dengan kemampuan untuk bergaul dengan sesama maupun lawan jenis, diharapkan
pergaulan ini akan dapat membawa ke langkah selanjutnya yaitu untuk memilih
pasangan hidup yang sesuai dan mulai mempersiapkan diri membentuk keluarga.
8.
Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan
untuk berperilaku sesuai dengan norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan
remaja melaksanakan tugas perkembangan ini ditandai dengan, misalnya,
kesuksesannya meredam serta mengendalikan gejolak emosi maupun seksualnya
sehingga dapat hidup sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Untuk dapat
memperoleh konsep diri yang memegang seperangkat nilai ini, remaja dapat
memiliki role model atau seseorang yang dijadikan tokoh idola yang tingkah
lakunya kemudian diteladani.
Tugas-tugas perkembangan ini harus dicapai sebelum seorang
remaja melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila remaja tadi gagal
dalam memenuhi tugas perkembangannya secara tepat waktu, maka ia akan sulit
untuk memenuhi tugas perkembangan fase selanjutnya. Atau, apabila ia gagal
melaksanakan tugas perkembangannya pada waktu yang tepat, maka ia akan mengalami
kesulitan untuk menyelesaikannya di waktu yang lain, atau melaksanakan tugas
perkembangan pada tahapan yang lebih lanjut.
B. MASALAH REMAJA DI SEKOLAH
Sudah cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara
perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah menegah (SLTP/ SLTA).
Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam
sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah
dibanjiri berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep
pengetahuan melalui media massa (televisi, video, radio, dan film) yang
semuanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang.
Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara
dengan baik sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah tampak dewasa, tetapi
mempuyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi remaja yang
demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah
membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu
cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu.
Masalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/
SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam
bentuk perilaku. Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para
remaja di sekolah.
Perilaku
Bermasalah (problem behavior). Masalah perilaku yang dialami
remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak
merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang
dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan
remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam
mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam
kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami
kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak
langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
Perilaku
menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang pada remaja
merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup
(nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa
tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal
ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi
diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan
tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour
disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui
dirinya.
Penyesuaian
diri yang salah (behaviour maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang
dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam
menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku
menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian
diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
Perilaku tidak
dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan
pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan
salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku
yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah.
Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang
benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman
(punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan
pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau
benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila
ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal
seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya .
Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku
oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja
yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.
Attention
Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang mengalami
defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga
gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di
sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian
sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau
tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara,
remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain
itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari
luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
C. NARKOBA DAN PERILAKU SEKS
BEBAS
1.
Penyalahgunaan narkoba
Hambatan dalam proses sosialisasi merupakan manifestasi
kelemahan fungsi kepribadian yang menyebabkan labilitas emosional sehingga
tingkat toleransi stres pun relatif rendah. Ia mudah menyerah, kurang memiliki
daya juang, dan rendah ketekunannya dalam belajar mengatasi masalah. Remaja
tipe ini rentan terhadap pengaruh penyalahgunaan narkoba.
Beberapa penyebab lain adalah dinamika relasi khas antara faktor
psikis dan fisik yang kurang menguntungkan remaja. Misalnya, badan terlampau
gemuk atau kurus, sikap tertutup, teman terbatas, prestasi belajar antara
sedang ke kurang, dan kurang berani menghadapi tantangan. Anak tipe ini
biasanya kurang percaya diri sehingga rawan pemerasan/pemalakan. Awalnya
dipaksa menyerahkan uang jajan sampai akhirnya dipaksa mencuri di rumah. Hasil
pemerasan langsung dibelikan narkoba dan sering terjadi anak dipaksa mencoba
minuman keras atau narkoba yang dibeli dari hasil rampasan/pemerasan tadi.
Beberapa faktor internal mirip hal di atas, tetapi keanggotaan
terhadap geng diperoleh dengan pendekatan lebih luwes. Misalnya, anak diajak
naik motor, diajari naik motor atau main gitar, untuk kemudian dijadikan obyek
pemerasan. Karena khawatir kehilangan teman bermain, segala yang diminta
pimpinan geng akan ia penuhi, termasuk merokok dan kemudian menggunakan
narkoba.
Remaja yang sejak awal pubertas menunjukkan kurang suka belajar,
sering bolos, dan menyukai permainan seperti pachinko atau permainan lain yang
mengandung unsur perjudian biasanya mengalami ketidakpuasan emosional di rumah
dan tidak mampu mengatasi permasalahan remaja dan gejolak jiwa remajanya. Ia
frustrasi dan gelisah.
Keadaan ini sering dilatari sikap keluarga yang kurang sempat
memerhatikan anak remajanya dan kurang memberi dukungan kasih serta perhatian
bagi anak remaja untuk menyelesaikan masalah remaja tersebut. Keadaan frustrasi
ini membuka peluang penggunaan narkoba sebagai cara remaja menyelesaikan
masalahnya. Bila akhirnya keluarga mengetahui, reaksi lanjut pihak keluarga
biasanya lebih tidak menguntungkan. Artinya, remaja semakin tenggelam dalam
penggunaan narkoba sebagai jalan keluar masalahnya.
2. Perilaku
Seks Bebas
Menurut beberapa penelitian, cukup banyak faktor penyebab remaja
melakukan perilaku seks bebas. Salah satu di antaranya adalah akibat atau
pengaruh mengonsumsi berbagai tontonan. Apa yang ABG tonton, berkorelasi secara
positif dan signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film
dan sinetron, baik film yang ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton
di layar lebar.
Hal kedua yang menjadi penyebab seks bebas di kalangan remaja
adalah faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan.
Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama yang
diberikan orangtua terhadap anaknya. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian
yang diperoleh sang anak dari keluarganya. Cukup tidaknya keteladanan yang
diterima sang anak dari orangtuanya, dan lain sebagainya yang menjadi hak anak
dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan
serta di tempat-tempat yang tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan di
lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh di
lingkungan pergaulan bebas.
D. PENDIDIKAN SEKSUAL PADA REMAJA
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih
lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan
dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of
Adolecent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi
perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang
tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui
dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat
tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus
menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.
Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang
berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai
informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka
dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk
seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari
berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di
sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang
seks, media massa atau internet.
1.
Karakteristik Seksual Remaja
Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan
dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara
hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual
masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda hal ini seperti
yang pendapat berikut ini : Sexual characteristics are divided into two types.
Primary sexual characteristics are directly related to reproduction and include
the sex organs (genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes
other than the sex organs that generally distinguish one sex from the other but
are not essential to reproduction, such as the larger breasts characteristic of
women and the facial hair and deeper voices characteristic of men (Microsoft
Encarta Encyclopedia 2002)
Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1991),
seorang ahli psikologi perkembangan, yang mengemukakan tanda-tanda kelamin
sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock, pada
remaja putra : tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah
besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan pada remaja putri :
pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami
haid, dan lain-lain.
Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke
arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk
menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar
karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk
menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan
mempertahankan keturunan.
2. Perilaku
Seksual
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk
tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga
tingkah laku berkencan, ber*****bu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa
orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak
menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial.
Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat
memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi,
marah, dan agresi.
Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual
antara lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang
tiba-tiba berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil di luar nikah. Belum
lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain
itu resiko yang lain adalah terganggunya kesehatan yang bersangkutan, resiko
kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat
putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu
remaja dan penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar
nikah. Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit
dan kompleks.
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk
melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai :
1.
Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa
manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk
pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi dan emosi.
2.
Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti
sentuhan, pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang
pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
3.
Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual
yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam
mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan
lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.
4.
Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu
muncul pada remaja, oleh karena itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai
(menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan
mengenai hal tersebut.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya
permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi
Remaja,1994) adalah sebagai berikut :
1.
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual
remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam
bentuk tingkah laku tertentu.
2.
Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang
tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin
menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan,
pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).
3.
Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat
menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
4.
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya
penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi
yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan
lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode
ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media
massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual
secara lengkap dari orangtuanya.
5.
Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena
sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak,
menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak
dengan anak dalam masalah ini.
6.
Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita
dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga
kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
3. Pendidikan
Seksual
Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara
umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas
manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,
kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan
aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual
yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya
tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan
yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber
pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk
menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam
bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan
seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya
tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan
bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak (
dalam Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991). Dalam hal ini
pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah,
mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi
sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam
membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun
tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang
mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak
mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya
peran dunia pendidikan sangatlah besar.
4. Tujuan
Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek
anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan
moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi
manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan
merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai
tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam
Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli
mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan
etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan
keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari
pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin
mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja
tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi
aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material
seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan
pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual,
sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet
dalam mengenal dunia remaja, 1987)
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap
sebagai berikut :
1.
Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik,
mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual
pada remaja.
2.
Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan
perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab).
3.
Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam
semua manifestasi yang bervariasi.
4.
Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat
membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
5.
Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang
esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan
berhubungan dengan perilaku seksual.
6.
Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan
seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat
mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
7.
Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang
tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8.
Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu
melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran,
misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu
sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan
remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan
seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu
yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan
anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan
supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya
menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu
yang tertentu saja.
5. Beberapa
Kiat
Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang
tua dari anak itu sendiri. Pendidikan yang diberikan termasuk dalam pendidikan
seksual. Dalam membicarakan masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi
dan membutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orang tua
dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak
perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak ditutup
kemungkinan dapat terwujud bila dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya
atau bapak dengan anak perempuannya. Kemudian usahakan jangan sampai muncul
keluhan seperti tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan, kebingungan dan
kehabisan bahan pembicaraan.
Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu
sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan
terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak. Sebaiknya pada saat anak
menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai
timbul dan berkembang kearah kedewasaan.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual,
seperti yang diuraikan oleh Singgih D. Gunarsa (1995) berikut ini, mungkin
patut anda perhatikan:
1. Cara
menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
2. Isi uraian yang
disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak,
seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan
contoh atau simbol seperti misalnya : proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan,
sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
3. Dangkal atau
mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap
perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun t belum perlu menerangkan
secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena
perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap
kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
4. Pendidikan
seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan
dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak.
Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan
keadaan khusus anak.
5. Pada akhirnya
perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu
diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh
sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan
dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar
menjadi bagian dari pengetahuannya.
Prof. Dr. HM Djawad Dahlan, anggota Dewan Pakar ICMI Orwil Jabar
mengatakan, pendidikan seks bisa diberikan kepada anak-anak saat usianya
menginjak dua tahun tentunya dengan penuh kehati-hatian, diantaranya :
1. Orang tua harus
mengajarkan agar anak laki-laki sejak usia dua tahun tidak tidur dengan orang
tuanya atau kakak/adik perempuannya.
2. Selain masalah
tidur, anak juga diberi tahu pakaian yang cocok sebab pakaian anak laki-laki
beda dengan anak perempuan.
3. Demikian pula
dengan cara duduk antara anak laki-laki dan perempuan harus diajarkan oleh orang
tua, karena mereka memang harus berbeda sikap duduknya.
4. Apabila sudah
menginjak usia 8 atau 9 tahun, orang tua perlu mengajarkan makna mimpi basah,
haid, dan konsekuensinya. Anak yang sudah mimpi basah bagi lelaki dan haid bagi
perempuan berarti masuk baligh atau mukalaf. Wajib hukumnya untuk melaksanakan
ajaran Islam selain harus mandi besar setelah mimpi basah atau haid.
KESIMPULAN
Hambatan dalam proses sosialisasi merupakan manifestasi
kelemahan fungsi kepribadian yang menyebabkan labilitas emosional sehingga
tingkat toleransi stres pun relatif rendah. Ia mudah menyerah, kurang memiliki
daya juang, dan rendah ketekunannya dalam belajar mengatasi masalah. Remaja
tipe ini rentan terhadap pengaruh penyalahgunaan narkoba.
Beberapa penyebab lain adalah dinamika relasi khas antara faktor
psikis dan fisik yang kurang menguntungkan remaja. Misalnya, badan terlampau
gemuk atau kurus, sikap tertutup, teman terbatas, prestasi belajar antara
sedang ke kurang, dan kurang berani menghadapi tantangan.
Menurut beberapa penelitian, cukup banyak faktor penyebab remaja
melakukan perilaku seks bebas. Salah satu di antaranya adalah akibat atau
pengaruh mengonsumsi berbagai tontonan. Apa yang ABG tonton, berkorelasi secara
positif dan signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film
dan sinetron, baik film yang ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton
di layar lebar.
Remaja yang mengambil banyak resiko mungkin berhubungan dengan
kawan yang menyimpang, dan kurang berhubungan dengan sekolah, orang tua,
kelompok keagamaan, dan jaringan lain yang membantu. Disamping itu, ada
kemungkinan sejumlah anak-anak memang mewarisi gaya kepribadian yang impulsif
(menuruti kata hati), sebagai akibatnya, mereka kerap mengabaikan konsekuensi
jangka panjang dari perilaku mereka. Yang kemudian berujung pada masalah saat
remaja maupun dewasa.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari
bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan
teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat
berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara
efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa
remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk
memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan
energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan
betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam
lingkungannya.
SARAN
Keteladanan orangtua juga
merupakan faktor penting dalam menyelamatkan moral anak. Orangtua yang gagal
memberikan teladan yang baik kepada anaknya, umumnya akan menjumpai anaknya
dalam kemerosotan moral dalam berperilaku.
Menyelamatkan moral serta
memperbaiki perilaku generasi muda harus segera dilakukan dan misi ini menjadi
tanggung jawab bersama, tanggung jawab dari seluruh elemen bangsa. Jika misi
ini ditunda, maka semakin banyak generasi muda yang menjadi korban dan tidak
menutup kemungkinan kita akan kehilangan generasi penerus bangsa.
Melihat fenomena ini, apa yang harus kita lakukan dalam upaya
menyelamatkan generasi muda? Ada beberapa solusi, di antaranya, pertama, membuat
regulasi yang dapat melindungi anak-anak dari tontonan yang tidak mendidik.
Perlu dibuat aturan perfilman yang memihak kepada pembinaan moral bangsa.
Stanley Coopersmith (peneliti pendidikan anak), memberiakn
petunjuk-petunjuk praktis kepada orangtua dalam mendidik dan membina anak.
Pertama, kembangkan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif. Komunikasi
ini ditandai lima kualitas; openness, empathy, supportiveness, positivenes, dan
equality. Kedua, tunjukkanlah penghargaan secara terbuka. Hindari kritik. Jika
terpaksa, kritik itu harus disampaikan tanpa mempermalukan anak dan harus
ditunjang dengan argumentasi yang masuk akal.
REFERENSI
·
Sawitri Supardi-Sadarjoen, Jakarta, KOMPAS
·
Sixtus Tanje : Konselor di SLTP St. Kristoforus II Alamat: Taman
Palem Lestari, Blok A No. 18, Cengkareng, Jakarta Barat.
·
Zainun Mu’tadin, SPsi., MSi; Artikel Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 02 September 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar