Jumat, 13 Mei 2016

Post Partum 1



POST PARTUM PRIMER DAN SEKUNDER
A.    Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah anak lahir. (Prof. dr. Ida Bagus Gde Manuaba : 1996)

Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
  1. Perdarahan post partum primer ( early post partum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. Penyebab utama post partum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama. (Prof. dr. Ida Bagus Gde Manuaba : 1996).
  2. Perdarahan post partum skunder (late post partum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15 post partum. Penyebab utama perdarahan post partum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau membran. (Prof. dr. Ida Bagus Gde Manuaba : 1996).
B.     Etiologi (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH : 1998)
  1. Atonia Uteri
Faktor penyebab terjadinya atonia uteri adalah
a.       Umur   :           Umur yang terlalu muda atau tua
b.      Paritas :           Sering dijumpai para multipara dan grandemultipara
c.       Partus lama dan partus terlantar
d.      Obstein operatif dan narkosa
e.       Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion, atau janin besar
f.       Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair pada solusio plasenta.
g.      Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
  1. Sisa plasenta dan selaput ketuban
  2. Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, famiks dan rahim.
  3. Penyakit darah: kelainan pembekuan darah misalnyaa  atau hipofibrinogenemia yang sering dijumpai pada perdarahan yang banyak
  4. Solusio plasenta
  5. Kematian janin yang lama dalam kandungan
  6. Pre-eklamsi dan eklamsi
  7. Infeksi, hepatitis dan septik syok
C.    Diagnosis (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH : 1998)
Pada tiap-tiap perdarahan post partum harus dicari apa penyebabnya secara ringkas membuat diagnosis adalah seperti bagan dihalaman berikut.
Pada ibu yang bersalin penting sekali dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin : serta pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu dan periksa juga kontraksi uterus dan perdarahan selama 1 jam.
D.    Gambaran Klinis (Human labor and birth : 1996)
Gambaran klinisnya berupa perdarahan terus-menerus dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah pucar dan dingin, dan napasnya menjadi sesak, terengah-engah, berkeringat dan akhirnya coma serta meninggal dunia. Situasi yang berbahaya adalah kalau denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian fungsi kompensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shock. Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari luar hanya terlihat sedikit. Bahaya perdarahan post partum ada dua, pertama : anemia yang berakibat perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi faktor predisposisi terjadinya infekol nifas. Kedua : Jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja kematian.

Penatalaksanaan Atonia Uteri (Sarwono Prawirohardjo : 2005)
  1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
  2. Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan kompresi bimanual.
  3. Pastikan plasentaa lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal, lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi janin lahir.
  4. Berikan tranfusi darah bila sangat diperlukan.
  5. Lakukan uji beku darah (lihat solusio plasenta) untuk konfirmasi sistem pembekuan darah.
  6. Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetetapi masih terjadi perdarahan lakukan tindakan spesifik (lihat bagian prosedur klinik) sbb :
    1. Kompresi  bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliraan darah yang keluar, bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehatan rujukan. Bila belum berhasil, coba dengan kompresi bimanual internal.
  1. Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi, cobakan kompresi aorta abdominalis.
  1. Kompresi aortaa abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat, akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri pemoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.

Penatalaksanaan Retensio Plasenta (Sarwono Prawirohardjo:2005)
  1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil
  2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, cobakan traksi terkontrol tali pusat.
  3. Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 500 cc NS/RL dengan 40 tetesan per menit. Bila perlu kombinasikan dengan misoprostal 400 mg rektal (sebaiknya TIDAK menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kovum uteri).
  4. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus (melepaskan plasenta yang melekat erat secara paksa, dapat menyebabkan perdarahan atau perfarasi).
  5. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolumina
  6. Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan
  7. Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV/oral + metronidozol 1 g sapositona/oral)
  8. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.

Sisa Plasenta (Sarwono Prawirohardjo: 2005)
  1. Penemua secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca-persalinan lanjut, sebagian besar pasien-pasien akan kembali ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang kerumah dan sub involusi uterus.
  2. Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala matritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan dengan 3 x 500 mg oral.
  3. Dengan dipayungi antibiotikaa tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta denga AVM atau dilatasi dan kuretase.
  4. Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah, bila kadar Hb ³ 8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.

Penatalaksanaan Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina (Sarwono Prawirohadjo; 2005)
  1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
  2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
  3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.
  4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap operator.
  5. Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis dini dengan bantuan busi pada rektum, sbb :
    1. Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
    2. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan penjahitan dan simpul submukosa, menggunakan benang poliglikonik no. 2/0 (dexon/vicryl) hingga sfongter oni jepit kedua sfingter oni dengan klem dan jahit dengan benar no. 2/0
    3. Lanjutkan penjahitan kelapisan otot perineum dan submukosa dan subkutikuler
    4. Mukosa vagina dan kuul perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler.
    5. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidozal 1 g per oral) terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas.

Penatalaksanaan Robekan Serviks (Sarwono Prawirohardjo: 2005)
  1. Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur, akan mengalami robekan pada posisi spina isciadika tertekan oleh kepala bayi.
  2. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari persia.
  3. Jepitkan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
  4. Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri, dan perdarahan pascaa-tindakan.
  5. Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
  6. Bila terjadi defisit cairan, lakukan retorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%, berikan tranfusi darah.

Daftar Pustaka
.      Human Labor and Birth. 1996. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan. Jakarta. Yayasan Essentia Medica.

  1. Ida Bagus Gde Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta. EGC

  1. Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta. EGC

  1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Modul 5. Pencegahan dan Penanganan Post Partum. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar